Gelombang Otak  

Posted by doedoedoe in , ,

Aku selalu cinta hujan. Bagiku suara gaduh hujan merupakan salah satu simfoni terindah, ditambah dengan semerbak wangi tanah basah. Indah. Aku suka saat percikan air hujan yang pecah menabrak suatu permukaan dan butir-butir halusnya menyentuh kulitku. Segar.
Seperti sekarang, aku duduk di sebuah kafe memandang hujan berteman secangkir teh aroma peach yang mengepul dan berbatang-batang Dunhill Menthol Lights yang jauh mengalahkan kepulan teh, Aku memejamkan mata lalu menghirup dalam-dalam wangi hujan. Tiba-tiba ada bau itu. Bau yang dulu sangat aku hafal. Aku segera melihat berkeliling, mencari sumber bau itu.
Mataku menangkap sosok itu. Sosok si pemilik bau. Aku memanggil namanya dalam hati dan kusalurkan ke otak. Seketika dia melihatku. Ternyata setelah sekian lama ini, frekuensi otak kami masih tidak berbeda jauh. Aku tersenyum. Dia membalas. Dia menghampiri.
"Kursi ini kosong?" Dia bertanya.
"Tidak. Ada orangnya." Aku menjawab.
"Hmm, siapa kira-kira orang beruntung yang duduk di kursi ini?" Dia kembali bertanya.
"Kamu." Jawabku santai.
Tertawa kami meledak menyaingi alunan simfoni hujan. Tanpa aba-aba, obrolan kami melesat. Mengejar tiap frame waktu yang terlewat.
"Hmm, udah lama juga ya. Dua tahun." Dia berkata.
"Dua tahun dua bulan tiga belas hari." Koreksiku.
"Si Nona Detail kembali beraksi. Gak cape ya harus detail gitu terus?" Oloknya.
"Lebih cape ngadepin kamu kali." Jawabku santai sambil menghembuskan asap dari bibirku.
"Curcol alert! Curcol alert!" Tawanya kembali meledak. Tawa yang sempat mewarnai hari-hariku. Dulu.
"Masih suka ujan?" Dia kembali bertanya sesaat setelah menenggak kopi hitam dengan sedikit gula. Kesukaanya masih belum berubah.
"Banget. Walaupun dulu sempet sedih pas hujan, bukan berarti aku jadi benci hujan." Aku memeletkan lidah, mengoloknya.
"Wah, mau dibahas nih jadinya soal yang dulu?"
"Soalnya kamu jahat dulu. Udah tau aku suka hujan, malah kamu mutusin aku pas hujan. Mau bikin aku trauma sama hujan ya?"
"Gak gitu lah. Itu pas kebeneran aja hujan."
"Sampe sekarang aku masih ngerasa kamu gak jujur sepenuhnya sama aku soal alesan kamu mutusin aku. Bukannya aku bilang kalau kamu bohong soal belajar, butuh waktu sendiri sama lain-lainnya itu. Tapi kaya ada sesuatu yang kamu gak masukin di list alesan mutusin dulu itu." Aku memicingkan mata, mencoba menginterogasi dengan canda.
"Percuma dong kalau dari dulu kita terkenal jadi pasangan dengan gelombang otak yang hampir sama kalau kamu gak bisa jawab sendiri pertanyaan kamu tadi." Senyumnya penuh arti.
"Kayanya kita harus lebih sering deh ngobrol-ngobrol kaya gini. Set the schedule?" Aku bertanya.
"Sure. We should."
Seorang pria menghampiri kami berdua.
"Well, gadis manis, aku duluan. Nanti kamu kasih kabar aja kapan kita ketemu lagi ya. Eh, by the way, kenalin ini Indra. Indra, Isabel. Isabel, Indra."
Setelah berpamitan, dia bersiap pergi meninggalkanku. Sebelum pergi dia sempat berkata sedikit berbisik.
"Kalau memang gelombang otak kita masih sama, kamu sekarang ini pasti sudah tahu alasan utama kenapa aku mutusin kamu waktu itu." Senyum tersirat di wajahnya. Lalu pergi meninggalkanku.
Aku tiba-tiba tertegun melihatnya, juga temannya. Dan akupun tertawa.

This entry was posted on Tuesday, October 11, 2011 at 11:38 AM and is filed under , , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment