Malam Minggu  

Posted by doedoedoe in , ,


Apa sih spesialnya malem minggu? Bagi gw itu hanya salah satu malem di antara tujuh malem lainnya. Kenapa orang-orang banyak yang men-spesial-kan malem yang satu ini. Kalo cuma urusan besoknya libur, terus apa bedanya sama malem sabtu? Toh hari sabtu libur juga kan? Malem minggu hanya sebuah malam dimana jalanan Jakarta macetnya bukan main, apalagi daerah pusat kota. Seperti sekarang, gue duduk bosen di depan kemudi mobil gue. Jalanan Jakarta stuck.
Kalau gak kepaksa banget, gue gak bakalan deh keluar malem minggu ini. Tapi malem ini gue harus jemput Pakde dan Bude gue di Gambir. Jam di mobil gue nunjukin angka 18.21, jam yang pas banget buat kalian yang mau nikmatin kemacetan di kota Jakarta tercinta. Gue kadang bingung, ini orang-orang mau pada kemana ya?
Akhirnya sampai juga gue di Gambir. Haus, harus cari minum. Kasian kerongkongan gue udah kering daritadi.
"Mas, Pakde sama Bude masih di kereta. Ada perbaikan jalan keretanya tadi, makanya ini agak telat. Tunggu sebentar ya."
Begitulah SMS Pakde gue pas tadi lagi beli minum. Harus nunggu deh kalau gitu. Akhirnya gue mutusin buat duduk di samping mobil gue.
"Om, beli dong. Satu aja." Suara anak kecil ngagetin gue.
"Kamu jual apa?" Gue iseng nanya.
"Jual poster Om. Ada macem-macem nih. Kali-kalian, tambah-tambahan."
"Lah, buat apa saya beli kaya gitu? Saya udah apal."
"Buat anaknya Om. Biar pinter."
"Belum punya anak." Gue jawab simpel.
"Masa sih Om? Gak keliatan belum punya anak."
Eh, ini anak kurang ajar banget. Apa muka gue keliatan setua itu ya?
"Anak kecil kok masih keliaran jam segini. Gak dicariin?" Akhirnya gue coba ngalihin topik dari masalah umur.
"Gak ada yang nayriin kok Om. Udah pada tau juga kalau saya jualan disini."
"Kamu jualan buat nyari biaya sekolah?"
"Gak, buat makan. Gak perlu lah sekolah Om, dari jualan kaya gini aja saya udah pinter. Saya udah bisa kali-kalian. Belajar dari poster jualan." Senyumnya mengembang.
"Yakin? Sini, saya tes."
"Eits, tunggu dulu Om. Kalau mau ngetes saya, Om beli dulu nih. Goceng doang." Anak itu menyodorkan sebuah poster perkalian.
Gue tertawa sambil menyerahkan selembar uang pecahan lima ribu. Gue suka anak ini, dia pintar.
Gue mulai memberi soal perkalian sederhana pada anak itu. Dari semua pertanyaan yang gue kasih, anak itu lancar banget jawabnya. Gue makin salut, dia tidak sekolah tapi dia hapal perkalian.
"Udah deh Om, saya mau jalan lagi. Jualan saya masih banyak nih. Makasih ya Om." Anak tadi bersiap pergi.
"Sini, saya beli sepuluh biji lagi posternya." Gue ngeluarin uang pecahan lima puluh ribu rupiah.
"Buset, buat apa beli banyak-banyak Om? Si Om kasian sama saya ya?"
Sial ini bocah. Gue mau bantuin malah nanya kaya gitu.
"Gak usah deh Om. Saya uda seneng banget kok Om mau beli satu poster saya. Apalagi tadi OM uda bantuin saya ngapalin kali-kalian." Anak itu tersenyum, "Saya duluan Om." Dan dia ngeloyor pergi ninggalin gue.
Gue cuma bengong, anak ini terlalu pinter buat cuma jualan di statsiun kaya gini. Sayang sekali dia gak punya kesempetan buat sekolah. Gue yakin dia bisa jauh lebih pinter dari ini.
Gue yang gak suka sama malem minggu, justru nemuin hal yang luar biasa di malem minggu ini. Senyum lebar pun ngembang di muka gue.

Pertemuan  

Posted by doedoedoe in , ,


"Silahkan Bos, ini foto-fotonya. Malem ini mau dipijet sama siapa?" Seorang wanita menyodorkan sebuah album foto dengan genitnya kepada seorang pria tengah baya berkumis tebal.
"Saya mau sama si Dona ini." Seru pria tadi setelah membuka-buka album foto tersebut.
"Boleh aja Bos, mau ambil paket apa? Pijet aja? Atau pake lulur juga?" Tanya wanita genit tadi lagi.
"Paket apa aja, bebas yang penting sama si Dona." Suara tawa menggelegar mengikuti kata-kata pria tadi.
"Ah, si Bos bisa aja. Yuk, Bos aku anter ke room nya. Nanti biar Dona nyusul ke dalem."
Setelah sampai kamar yang ditunjukan dan ditinggalkan oleh wanita genit tadi, pria yang dipanggil Bos itu langsung melucuti pakaiannya hingga hanya menyisakan celana dalamnya. Dia berbaring di atas kasur tipis yang tersedia di tengah ruangan.
***
Aku masuk ke dalam sebuah ruangan bercahaya remang-remang. Di dalam terlihat seorang pria gendut berkumis tebal yang hanya mengenakan celana dalam putih berbaring mengobral perutnya yang menyerupai gentong. Wajahnya melukiskan nafsu birahi yang bergejolak saat melihatku masuk. Aku menutup dan mengunci pintu.
"Malem Om." Sapaku dengan senyum manis dan akting genit yang sengaja berlebihan.
***
Hari ini tempatku bekerja sedang sepi pelanggan, maklum tanggal tua. Sudah dua hari ini aku tidak dapat tamu. Aku sih senang saja, santai, tidak cape. Hari-hari seperti ini aku nikmati dengan bercengkrama dengan rekanku yang lain.
"Don, nanti malem anterin aku ke pasar yuk. Lipstik aku abis, sama sekalian mau beli maenan buat Fajar. Besok dia ulang taun yang ke-6." Mbak Dara mengajakku sambil menghembuskan asap rokok dari bibir merahnya.
"Ayo aja Mbak. Ya ampun, gak kerasa ya Mbak. Uda 6 taun aja dia. Pasti cakep banget deh sekarang." Aku menimpali dengan semangat.
"Iya, minggu kemaren aku dapet foto Fajar pake seragam SD dari pembantunya. Cakep banget Don, matanya makin mirip aku. Nih yah aku liatin."
Mbak Dara sibuk memngotak atik HP-nya dan segera menunjukan padaku foto anaknya yang dia ceritakan tadi. Tampan sekali anak Mbak Dara ini. Sayang sekali Mbak Dara tidak dapat menemui anaknya, sudah hampir 3 tahun ini dia dilarang bertemu anaknya oleh mantan suami dan keluarganya.
"Terus, cara ngasihin maenannya nanti gimana Mbak?" Aku bertanya hati-hati.
"Ya seperti biasa lah Don. Aku bakalan dateng ke rumahnya. Mau aku kasih sendiri ke Fajar." Jawab Mbak Dara santai.
"Terus diusir lagi? Tahun lalu aja Mbak hampir berurusan sama polisi. Kalau memang mau, mending dipaket aja Mbak." Saranku.
"Walaupun diusir atau harus sampe berurusan sama polisi, yang penting aku bisa liat Fajar langsung Don. Walaupun cuma sebentar, yang penting liat dia langsung." Suara Mbak Dara mulai bergetar.
Aku hanya bisa memegang tangan Mbak Dara dan tersenyum, di hadapanku kini ada seorang ibu yang berjuang demi bertemu anaknya. Aku kagum akan semangatnya.
"Sudahlah, kok malah sedih-sedihan. Sekarang kamu dong yang cerita, apa kek. Bosen nih bengong gini seharian gak ada tamu." Mbak Dara mengalihkan topik pembicaraan.
"Cerita apa? Aku gak ada cerita Mbak." Jawabku agak malas.
"Cerita apa aja gitu. Cerita pacar pertama kamu deh."
"Pacar pertama aku? Waduh, udah lama banget itu Mbak." Aku tertawa.
"Udah lama tapi bukan berarti udah lupa kan? Katanya yang namanya pacar pertama itu gak akan pernah bisa dilupain. Apalagi kalau pacar pertama itu orang yang ngasih ciuman pertama buat kita." Mbak Dara tertawa melengking khas.
"Apa sih Mbak?" Aku mendorong sedikit tubuhnya, mukaku panas, malu.
"Ayo dong, ceritain. Siapa laki-laki beruntung itu?" Mbak Dara gencar memaksaku.
Paksaan demi paksaan dihembuskan Mbak Dara. Sedikit demi sedikit aku kembali ke waktu itu. Saat aku masih mengenakan rok biru tua setiap pergi ke sekolah. Saat aku benci setiap bertemu matematika. Saat aku senang setiap kali bertemu dia.
Dia yang entah bagaimana dan mengapa selalu menjadi teman sekelasku saat formasi kelas selalu berubah setiap tahunnya. Dia yang selalu mencuri perhatianku sejak pertama kali aku melihatnya. Dia yang selalu baik kepadaku. Dia yang menjadi pacar pertamaku saat kami duduk di kelas 3. Dan dia yang memberikan padaku ciuman pertamaku.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh Mbak Dara. Pacar pertama dan sekaligus orang yang memberikan ciuman pertama tidak akan pernah bisa kita lupakan. Ingatan akan dirinya pasti akan aman tersimpan di salah satu ruang memori kita. Dimana dia berada sekarang ya?
Tiba-tiba sebuah keributan terjadi di ruangan depan tempatku bekerja. Terdengar teriakan Tante Agnes si pemilik usaha. Segerombolan pria berseragam masuk ke ruang tempat aku sedang mengobrol dengan Mbak Dara. Instingku memerintahkan untuk lekas lari, tapi terlambat. Aku dan Mbak Dara tertangkap, kami berontak tapi percuma. Tenaga kami bukan apa-apa dibanding tenaga pria berserangam itu.
Di sinilah aku, duduk berjajar dengan wanita-wanita lain di sebuah lorong kantor polisi. Ini kali keduanya aku duduk di tempat ini. Kapok? Tentu saja, dari saat pertama pun aku kapok. Tapi bagaimana lagi, aku butuh uang, aku tidak punya keahlian apapun selain apa yang kukerjakan saat ini.
***
"Kamu bertiga ayo masuk." Seorang polisi memerintahkan aku, Mbak Dara dan Santi untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Aku duduk di bangku sebelah kiri. Sebuah mesin tik duduk kaku di meja di hadapanku. Polisi yang akan mendata berdiri mebelakangiku menghadap jajaran lemari file. Dia berbalik dan terasa sebuah pisau ilusi menusuk jantungku. Berhenti sesaat, lalu berdetak sangat kencang.
Pandangan mata kami bertemu. Lama. Mata itu, masih sama. Ada kelembutan yang masih sangat aku ingat baik .Kelembutan yang aku lihat saat dia akan menciumku untuk pertama kalinya. Walaupun kini tertutup oleh keterkejutan dan kekecewaan yang sangat jelas.
Mata kami masih beradu, tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulut kami. Dia duduk di hadapanku. Matanya masih tetap memandangku, dalam, kecewa, sedih.
"Nama?" Suaranya bergetar.
"Do-na." Dan air mataku pun mengalir.